China Tolak Tuduhan Pelanggaran HAM di Uighur (Bag.II)

FathulGhofur.com. China berkali-kali menolak disebut telah melanggar HAM terhadap masyarakat Uighur. Penyebabnya adalah ekonomi.

china-uighur-xinjiang

Gesekan Sosial di Wilayah Otonom
Provinsi Xinjiang—atau akrab disebut Turkestan Timur—terletak di barat laut China dan berbatasan dengan Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Pakistan, dan Afghanistan. Budaya, agama, dan bahasa masyarakat Xinjiang sangat berbeda dari kebanyakan provinsi di China.

Ada lebih dari 50 etnis minoritas di Xinjiang, baik yang berasal dari China maupun Asia Tengah. Ini termasuk komunitas Uighur yang punya garis keturunan bangsa Turk dan berbicara dalam bahasa Uighur.

Isabella Steinhauer dalam “International Social Support and Intervention: The Uyghur Movement -Xinjiang Province, China” (2017, PDF) menulis selama berabad-abad, relasi Xinjiang dan Beijing mengalami pasang surut.

Pada 1949, setelah Partai Komunis China memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. Pemerintah memberikan status wilayah otonom bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).

Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi mengingat Xinjiang menyimpan cadangan minyak dan mineral yang cukup besar. Tak hanya itu, Xinjiang jadi pintu masuk China ke Asia Tengah dan Timur Tengah: dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi China.

Catatan Council on Foreign Relations menyatakan bahwa tak lama usai pemberian status otonomi, China meluncurkan berbagai macam proyek pembangunan. Pada 1954, China mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad.

Pada awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur, misalnya, membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.

Tingginya arus pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, suku terbesar di China. Walhasil, populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis. Dari yang semula hanya 6,7 persen (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40 persen (8,4 juta) pada 2008.

Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial.
Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.

Gesekan di Xinjiang makin diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Masih menurut Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Lalu, atas nama pembangunan infrastruktur, pemerintah China tak segan meruntuhkan bangunan kuno di Kashgar.

Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan setelah dua pekerja Uighur tewas di Guangdong. Akibat bentrokan ini, 197 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718 orang ditahan.

Situasi bertambah panas dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990-an. Oleh Beijing, ETIM dikategorikan sebagai teroris dan diklaim berafiliasi dengan Al-Qaeda sehingga layak diperangi.

Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang.

Pemerintah Beijing menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal,” membungkam para ulama di Kashgar yang dicap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm dalam “China ‘s Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence” (2009, PDF, terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law).

Masalahnya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak bersalah.